Sabtu, 30 April 2011

Cerita Rakyat :Sultan Maulana Hasanuddin Vs Prabu Pucuk Umun

Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Pucuk Umun. Pucuk Umun menghadapi Sultan Hasanuddin. Menurut ceritanya, kedua orang itu mengadakan adu ayam dengan ketentuan bila ayam Pucuk Umun kalah, Sultan Hasanuddin bebas menyebarkan Islam di derah Banten. Ternyata ayam Pucuk Umun Kalah dan setelah itu ia melepaskan daulatnya atas Banten dan kemudian bermukin di Ujung Kulon. Tempat pertarungan adu kesaktian antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun pun telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu di lereng Gunung Karang. Satu tempat yang dianggap netral, karena kedua pihak tentu tidak ingin disebut jago kandang bila berhasil memenangkan pertandingan, yang tidak saja mempertaruhkan jabatan tapi juga kedaulatan atas Banten. Perlu dicatat disini, bahwa pertarungan ini bukanlah pertarungan ‘full-body contact’ langsung antara dua tokoh agama, tapi pertarungan dengan menggunakan perwakilan berupa ayam jago: satu milik Maulana Hasanuddin dan yang satu lagi milik Pucuk Umun. Penyelenggaraan pertarungan dahsyat ini adalah prakarsa dari Pucuk Umun sendiri yang langsung diterima oleh Maulana Hasanuddin. Pendekatan seperti ini dapat dipandang sebagai jalan tengah menuju penyelesaian damai terhadap konflik berkepanjangan antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Pucuk Umun berkepentingan mempertahankan eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di bawah naungan Negeri Pajajaran. Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar supaya kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang berarti.
Matahari pagi mulai memanasi Gunung Karang yang hijau ketika kumpulan orang-orang mulai memadati lapangan. Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, masing-masing pihak melengkapi diri dengan senjata masing-masing. Dari kejauhan tertampak, selain ada golok di pinggangnya, Pucuk Umun juga memegang tombak. Sedangkan di pinggang Maulana Hasanuddin terselip sebilah keris pusaka warisan Wali Songo. Di tepi utara lapangan, Maulana Hasanuddin tampak mengenakan jubah putih dengan sorban di kepala. Sementara disisi selatan, Pucuk Umun berpakaian hitam-hitam, dengan rambut gondrong sampai leher, mengenakan ikat kepala.

Dua ekor ayam jago yang masing-masing masih dalam kandang anyaman bambu sudah berada di tengah lapangan. Ayam milik Pucuk Umun telah diberi ajian ‘otot kawat tulang besi’ dan dipasang keris berbisa pada kedua tajinya. Sedangkan pada ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasang senjata apapun, tetapi dia telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat dimandikan, dibacakan ayat-ayat Al-Quran, termasuk Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas dan kalimat “La haula wala quata illa billahil aliyyil ‘adzim” masing-masing tiga kali.

Suasana di arena laga tampak menegangkan. Dari pihak Maulana Hasanuddin, telah hadir ratusan pengikutnya yang terdiri para ustad dan santri yang juga merangkap sebagai anggota pasukan keamanan. Mereka semua terbenam dalam doa memohon pertolongan Allah SWT. Adapun di pihak Pucuk Umun, telah hadir juga 800 ajar (sejenis pendeta) dan beberapa Punggawa (Panglima) Pajajaran, yang semuanya tampak komat kamit membaca jampi-jampi.

Dalam suasana yang mencekam itu, dua orang Punggawa yang mewakili kedua pihak maju ke tengah lapangan membacakan maklumat:
“Di hadapan yang mulia Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun, perkenanlah kami membacakan maklumat sebagai berikut:
  • Sebagaimana yang telah disepakati antara yang mulia Maulana Hasanuddin dengan Prabu Pucuk Umun, bahwa apabila Prabu Pucuk Umun kalah maka pihak Maulana Hasanuddin akan diberi kebebasan menyebarkan Islam di Banten. Tetapi apabila ternyata Prabu Pucuk Umun yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten Tengah dan Selatan.
  • Pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan kepada pihak yang menang dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang.
  • Kepada semua yang hadir, agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki lapangan selama pertandingan berlangsung.
Demikianlah maklumat kami sampaikan.”

Riuh rendah suara penonton mulai membahana tatkala dua ekor ayam jago mulai dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Kedua jago itu bergerak saling mendekati, berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua meter. Bagaikan dua jagoan di atas ring tinju, keduanya terus bergerak, menari-nari, dengan posisi siap menyerang dan diserang, sambil menatap mata lawan. Belum ada insiatif menyerang dari masing-masing jago. Karena, tampaknya, kedua jago ini mengharapkan serangan dimulai oleh lawan. Kemudian, tiba-tiba jago Pucuk Umun mengambil ancang-ancang, mundur setengah meter, lalu dengan kekuatan penuh, bergerak maju menyerang, mengarahkan kerisnya ke dada jago Maulana Hasanuddin yang siap menyambut serangan pertama itu. Gebraaaaak!! Suara keras terdengar sampai jarak satu kilometer. Benturan fisik pun terjadi antara dua jago yang sedang bertarung mempertaruhkan harga diri tuannya.

Kedua jago itu saling terpental kearah belakang masing-masing. Tidak ada tanda-tanda luka pada jago Maulana Hasanuddin, dan malahan ia kembali berusaha tenang setelah menerima serangan pertama. Mereka kembali berhadap-hadapan, siap menyerang dan diserang. Jago Pucuk Umum menjadi beringas, yang terlihat dari gerakan dan matanya yang memerah. Apakah pukulan jago Maulana Hasanuddin berhasil bersarang di dadanya saat hunjaman kerisnya gagal menggores dada lawan? Entahlah. Yang tampak ketika itu adalah suasana hening di pinggir lapangan. Semua mata mengarah kepada kedua jago itu. Rupanya, jago Pucuk Umun terpancing emosinya. Gerakannya semakin liar dan matanya merah. Lalu dia menyerang lagi dengan maksud merobek dada jago Maulana Hasanuddin. Kali ini, jago Maulana Hasanuddin berkelit kearah kiri menghindari keris berbisa jago Pucuk Umun, dan … Buk!!, tangan kanannya bersarang di rusuk kanan jago Pucuk Umun. Serangan jago Pucuk Umun gagal total, bahkan dia mendapat sebuah gebukan telak.

Jago Pucuk Umun tampak semakin kalap dan berniat melancarkan serangan mematikan kearah lawannya. Melihat gelagat lawannya itu, jago Maulana Hasanuddin menghindar. Tiba-tiba, dia melompat ke angkasa. Jago Pucuk Umun pun melompat tinggi menyusulnya. Semua mata terfokus pada kedua jago yang berada pada ketinggian sekitar 40 meter dari tanah. Tak terhindarkan lagi, sebuah pertarungan sengit terjadi di udara, disaksikan gunung karang yang tegak kokoh dengan sinar mentari yang berkilau di atas pepohonan hijau. Lalu tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga. Gebraaaak!!! Tubuh jago Pucuk Umun hancur berkeping-keping, jatuh ke tanah berlumuran darah. Para penonton, pendukung jago Maulana Hasanuddin bergemuruh sambil meneriakkan “Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”

Demikianlah, akhirnya Maulana Hasanuddin memenangkan adu kesaktian melawan Pucuk Umun. Pucuk Umun mengaku kalah, melangkah mendekati Maulana Hasanuddin, memberi hormat dan menyerahkan golok dan tombak miliknya sebagai tanda pengakuan atas kemenangan Sang Maulana. Pucuk Umun undur pamit setelah mengaku kalah dan menyerahkan daulatnya atas Banten, dan kemudian bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun pengikutnya yang loyal, memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam. Mereka menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak sampai sekarang sebagai satu komunitas yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.

Sementara itu, pada hari itu juga, 800 ajar dan dua orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo, menyatakan diri masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Sultan Maulana Hasanuddin. Dengan masuknya mereka ke dalam masyarakat muslim, maka semakin muluslah jalan bagi Sultan Maulana Hasanuddin untuk mewujudkan sebuah Negara Islam di Banten. Pusat Pemerintahan pun dipindahkan, pada tanggal 1 Muharram 933 H atau 8 Oktober 1526, dari Banten Girang (dekat Serang sekarang) ke daerah pesisir yang kemudian dikenal dengan nama Surosowan, yang sekarang disebut Banten Lama.

Pangeran Pande Gelang Dan Putri Cadasari

DI tengah sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk termenung. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang bermuram durja
Tidak jauh dari  tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh baya dengan karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat sang Putri. Wajah lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.
"Sampurasun," sapanya.
Sang Putri tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya, sehingga tidak menyadari kehadiran lelaki itu.
"Sampurasun," Lelaki itu mengulang sapa.
"Ra... rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"
"Maaf jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu seraya menundukkan kepalanya.
Sang Putri tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki yang berdiri di hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun legam. Namun Putri merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah manggis: hitam dan pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.
"Sedari tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana. Ada apa gerangan?"
"Saya kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada orang lain."
"Kalau begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap Tuan Putri berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu seraya hendak berlalu.
"Tunggu, Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.
Lelaki itu mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.
"Sekali lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya menyinggung perasaan Kisanak, apalagi menganggap rendah."
Beberapa saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang Putri menangis.
Lelaki itu duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang besar tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Siapa nama Kisanak?" tanya sang Putri.
"Saya... saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya dengan sebutan Ki Pande."
"Baiklah, Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya akan menghilangkan penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan masalah ini kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka. Tidak akan ada seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"
"Saya hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"
Ki Pande tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati dipenuhi rasa iba.
"Nama saya Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.
Menurut Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran bernama Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis dan kejam. Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti mandraguna. Apa pun yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa berbantah.
"Saya sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai istrinya," Putri Arum mengakhiri ceritanya.
"Saya ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata. "Maafkan saya, karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu Putri."
"Saya mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara Pangeran Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit yang saya terima benar adanya."
"Wangsit?" tanya Ki Pande.
"Ya. Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis ini. Kelak katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi pekertinya, dan sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian ini hampir sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa saya kawin dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab setelah sekian lama, dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah manggis itu ternyata tak kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.
Mendengar hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada yang tengah dipikirkannya.
"Oh, tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membantu saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.
"Benar," jawab Ki Pande.
"Itu berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk saya!" seru Putri Arum, penuh harap.
"Barangkali itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.
"Katakan saja, Ki," Putri Arum penasaran.
"Saya hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran Cunihin itu."
"Apa Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang sangat saya benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.
Ki Pande sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap tenang. "Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."
"Dengan syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.
"Ya, dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."
"Hal apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti mandraguna. Laut saja bisa dikeringkannya!"
"Yakinlah, Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki Pande berusaha meyakinkan Putri Arum.
"Kalau begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"
"Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui manusia. Kemudian batu tersebut harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus dikerjakan tidak lebih dan tiga hari," Ki Pande menjelaskan.
"Bukankah syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran Cunihin?"
"Tapi tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu keramat, setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."
"Setelah itu"" tanya Putri Arum.
"Serahkan semuanya kepada saya!"
Mendengar seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujui. Ki Pande kemudian mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil membawa karung yang berisi alat-alat membuat gelang.
Perjalanan menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum. Sudah hampir setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di atas sebuah batu cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn Arum ke rumah salah seorang penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Salah seorang tetua kampung mengatakan bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.
Beberapa orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas. Dan keajaiban pun terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang berasal dari batu cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan sebutan baru yaitu Putri Cadasari.
Sementara itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia membuat gelang yang sangat besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande, gelang tersebut akan dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat Pangeran Cunihin.
Waktu yang ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang menemui Putri Cadasari dan menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat kepada Pangeran Cunihin.
"Hahaha, itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat itu?" tanya Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu, Pangeran. Duduk di atas batu sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.
"Wah, Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin, pula.
Tak sampai tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin berhasil menemukan batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian dibawanya ke sebuah pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari diam-diam mengkuti dari kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi, menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Cunihin.
Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi penuh, Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba tangan Pangeran Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat besar tercipta di tengah batu keramat itu.
"Hahaha, aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!" Pangeran Cunihin mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar pada batu keramat yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak bersembunyi, tapi didengarnya sebuah bentakan keras.
"Heh tua bangka, sedang apa kau di sini?!"
Ternyata Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri Cadasari.
"0, aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku pernah mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau hanya pantas menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas. "Lihatlah, sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi memilikinya!"
Putri Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah telah mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab, Pangeran Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat yang telah berlubang itu.
"Tuan putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah batu besar berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan romantis," kata Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan kegembiraan, w alau di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya menjadi pendamping Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.
"Apa karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu ini telah berlubang?" kata Putri Cadasan.
"Hm, baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu ini untuk membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati lubang batu keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit luar biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri. Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi seorang pemuda tampan.
"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti menyaksikan keanehan-keanehan itu.
"Sebenarnya ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi setelah mendapat kesaktian dari  guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian saya, lalu menjadikan saya sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian mencari kesaktian untuk mengembalikan keadaan saya. Ternyata hanya satu yang bisa mengembalikan keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati gelang-gelang buatan saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah Pangeran Cunihin yang terkulai tak berdaya.
"Kini saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa Tuan Putri. Untuk itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande Gelang, menggenggam tangan Putri Cadasari.
"Ah, sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata wangsit yang saya terima itu memang benar."
Akhirnya, keduanya meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa waktu kemudian mereka pun menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.
Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan kampung Kramatwatu, dan batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal dengan nama Karang Bolong. Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit di bukit manggis, kini orang mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis dalam bahasa Sunda berarti Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri disembuhkan dari sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang, tempat Pangeran Pande Gelang membuat gelang.

Oleh Zaenul Muttaqien

Asal Muasal Batu Kuwung


DAHULU pernah hidup seorang saudagar kaya raya yang mempunyai hubungan sangat erat dengan kekuasaan Sultan Haji. anak dari Sultan Ageng Tirtayasa. Karena kedekatannya tersebut, sang Saudagar mendapat hak monopoli perdagangan beras dan lada dari Lampung. Tak ayal, usahanya pun maju pesat
Harnpir semua tanah pertanian di desa-desa yang berdekatan dengan tempat tinggal sang Saudagar menjadi miliknya. la membeli tanah-tanah tersebut dari para petani dengan harga yang rendah. Biasanva setelah petani-petani tersebut tidak mampu lagi mernbayar hutang dengan bunga yang beranak-pinak dan sudah habis jatuh tempo kepada sang Saudagar.
Selain itu, sang Saudagar diangkat menjadi seorang kepala desa di ternpat tinggalnya. Tetapi ia menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan dengan memungut pajak yang lebih tinggi dari tarif yang diharuskan. Karena kekayaan dari kekuasaannya itu, ia menjadi orang yang sangat sombong dan seringkali bertindak sewenang-sewenang.
Sang Saudagar juga sangat kikir. Apabila ada orang, lain tertimpa musibah dan membutuhkan pertolongan, ia sama sekali tidak mau memberikan bantuan. Bahkan saking pelitnya, ia tidak mau menikah meskipun umurnya telah berkepala empat. Baginya. menikah dan memiliki anak adalah suatu pemborosan.
la hidup bermewah-mewahan, sedangkan orang-orang di sekitarnya dirundung kemiskinan, sehingga sangat beralasan, jika hampir semua penduduk desa membencinya. Untuk melindungi harta dan nyawanya saja, ia memelihara beberapa orang pengawal pribadi.
Syahdan, suatu hari di desa tempat tinggal sang Saudagar kaya raya itu, lewatlah seorang sakti yang menyamar sebagai seorang pengemis lapar dengan kaki pincang. Sebelumnya, Orang Sakti ini sudah tahu mengenai perangai buruk sang Saudagar, dikarenakan keburukannya sudah jadi obrolan rutin penduduk, di pasar atau di warung-warung kopi. la datang ingin memberi pelajaran dan menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir tersebut.
Maka, si Pengemis berkaki pincang yang tidak lain adalah seorang sakti itu mampir menemui sang Saudagar di rumahnya yang besar dan mewah. Si Pengemis mengutarakan maksudnya menemui sang Saudagar untuk meminta sedikit makanan pengganjal perut dan sedikit kekayaan sebagai modal usaha.
Tetapi sang Saudagar memang sangat kikir. Bukannya memberi, ia malah memaki-maki si Pengemis berkaki pincang.
"Hal pengemis hina, apa kau pikir kekayaan yang kumiliki sekarang ini jatuh begitu saja dari  langit, heh?! Enak saja kau meminta-minta kepadaku, dasar pemalas!" hardik Sang Saudagar seraya mendorong tubuh si Pengemis berkaki pincang, hingga jatuh tersungkur mencium tanah.
Mendapat perlakuan seperti itu, si Pengemis berkaki pincang pun murka. la memperingatkan bahwa sang Saudagar akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya.
"Hai Saudagar yang sombong dan kikir, kau pun harus merasakan betapa lapar dan menderitanya aku!" ujar si Pengemis berkaki pincang. Setelah berkata demikian, segera si Pengemis berkaki pincang raib dari pandangan mata. Melihat kejadian tersebut sang Saudagar terkejut bukan main.
Benar saja. Esok hari ketika sang Saudagar bangun dari tidur, ia tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan kakinya, tetapi tetap saja tidak bisa. Sang Saudagar pun panik. la bertenak-teriak histeris. Para pengawal pribadinya segera berdatangan mendengar teriakan sang Saudagar tersebut.
Jadilah sang Saudagar menderita kelumpuhan pada kedua kakinya. la memerintahkan kepada pengawal pribadinya mencari tabib-tabib sakti untuk mengobati kakinya yang lumpuh. Ia menjanjikan imbalan yang sangat tinggi bagi slapa saja yang dapat menyembuhkannya.
Namun, meski sudah banyak tabib berusaha mengobati, tak satu pun yang berhasil. Oleh sebab itu ia pun berjanji akan memberikan setengah dari harta kekayaannya bagi siapa saja yang dapat menyembuhkannya dari kelumpuhan.
Si Pengemis berkaki pincang mendengar janji tersebut. Maka ia pun datang menemui sang Saudagar dan menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi sebab kelumpuhan kaki sang Saudagar.
"Semua ini adalah ganjalan atas sifatmu yang kikir dan sombong. Agar kakimu sembuh dari kelumpuhan kau harus melaksanakan tiga hal. Pertama, kau harus bisa merubah sifat sombong dan kikirmu itu.
Kedua, kau harus pergi ke kaki Gunung Karang dan carilah sebuah Batu Cekung. Lalu bertapalah kau selama tujuh hari tujuh malam di atas Batu Cekung tersebut, tanpa makan dan minum. Dan ingat, apa pun yang akan terjadi jangan sampai kau membatalkan pertapaan yang kau jalani.
Ketiga, apabila kakimu sudah sembuh seperti biasa, kau harus memenuhi janjimu untuk merelakan setengah dari harta kekayaan tersebut kepada orang-orang miskin di tempat tinggalmu". Setelah berkata demikian, lagi-lagi si Pengemis berkaki pincang tersebut raib begitu saja dari pandangan mata. Sang Saudagar pun sadar bahwa si Pengemis berkaki pincang tersebut bukan orang sembarangan.
Kemudian berangkatlah sang Saudagar dengan menggunakan tandu yang digotong oleh dua orang pengawal pribadinya, menuju ke kaki gunung Gunung Karang. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan melewati jalan setapak yang dikelilingi semak belukar dan pepohonan yang lebat, akhirnya sang Saudagar tiba di kaki Gunung Karang dan melihat sebuah Batu Cekung yang dimaksud si Pengemis berkaki pincang.
Karena perjalanan yang sangat melelahkan dan dilakukan tanpa istirahat, kedua orang pengawal pribadi sang Saudagar jatuh pingsan. Padahal Batu Cekung tersebut tinggal beberapa puluh langkah lagi jaraknya.
Terpaksa, dengan bersusah payah sang Saudagar merayap di tanah untuk mencapai Batu Cekung tersebut. Lalu ia pun segera bertapa di atasnya. Selama tujuh hari tujuh malam ia menahan rasa lapar dan haus karena tidak makan dan minum, juga bertahan dari bermacam-macam godaan lainnya, seperti binatang-binatang liar dan makhluk-makhluk halus yang datang mengganggu.
Pada hari terakhir pertapaan, keajaiban pun terjadi. Dari pusat Batu Cekung tersebut menyemburlah sumber mata air panas. Sang Saudagar menyudahi tapanya, lalu bersegera mandi dengan sumber mata air panas dari  Batu Cekung tersebut. Keajaiban terjadi lagi, kedua kakinya yang semula lumpuh kini dapat ia gerakkan kembali.
Seperti janjinya semula, maka sang Saudagar membagi-bagikan setengah dari harta kekayaannya kepada orang-orang miskin di sekitar tempat tinggalnya. Para petani di desanya diberikan tanah pertanian sendin untuk digarap. la juga kemudian menikahi seorang gadis cantik anak seorang petani miskin, yang menarik hatinya. Penduduk desa pun tidak lagi membencinya, ia kemudian dikenal sebagai seorang saudagar yang dermawan.
Apabila ada orang bertamu ke rurnahnya, sang Saudagar kerap kali bercerita, perihal keajaiban sumber mata air panas Batu Cekung di kaki Gunung Karang yang dapat menyembuhkan kelumpuhan kakinya. Lambat laun cerita dari mulut ke mulut itu pun tersebar luas. Banyak orang yang tertarik untuk mendatanginya. Konon, beberapa macam penyakit lain dapat sembuh apabila mandi dengan sumber mata air panas Batu Cekung tersebut.
Kini, orang-orang mengenalnya sebagai objek wisata sumber mata air panas "Batu Kuwung" (yang berarti batu cekung). Objek wisata yang belum dikelola secara profesional ini, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Padarincang, Ciomas, berlatar belakang kaki Gunung Karang.

 Oleh Endang Rukmana

Jumat, 29 April 2011

Dua Jalan, Dua Tujuan, Namun Teman yang Seperti Apa?


Bukankah kami telah memberinya sepasang mata...dan menunjukkan kepadanya dua jalan.(QS. Al-Balad, (90):8,10)

Semua manusia mencari teman sejati. Mereka mencari orang untuk berbagi kebahagiaandengan mereka, orang yangbersediamembantu di saat mereka mengalami kesulitan, yang menunjukkan jalan keluar pada merekaketika mereka tidak sanggup menemukan apapun,yang bersedia mencintai mereka di setiap keadaan, yang setia, melindungi,menyikapikesalahan-kesalahan yang mereka perbuat dengan lemah lembut, danyang tidak akan meninggalkan mereka baik ketika mereka sedangsakit,sehat maupun ketika telah mencapai usia tua.
 
Akan tetapi, terdapat dua jalan yang dapat dipilih seseorang dalam mendapatkan teman yang demikian. Yang pertama adalah jalan dari Yang Pengasih, sebuah ketetapan nilai moral (akhlâq) Al-Qur’ân yang dipilih oleh mmu’minkarena ridhâ Allah. Sedangkan jalan yanglainadalah cara berteman yang didasari pada kepentingan dan keuntungan duniawi. Dalam artikel ini, kita akan melihat alasan-alasan yang mendasari dua kepentingan tersebut, menjelaskan perbedaan-perbedaan antara ikatan pertemanan yang kuat diantara mu’mindan non mu’minyang hanya didasarkan pada kepentingan duniawi.

Pertemanan yang menambatkan kepentingan pada nilai moral: agar menjadi teman yang sejati, seseorang harus mencintai orang lain semata-matademi nilai moral yang sepantasnya. Inilah sebuah bentuk ketakutan dan kecintaan, keyakinan, keikhlasan, dan ketaqwaan seseorang kepada Allah. Di atas nilai luhur inilah pertemanan itu kekal dan akan mencapai karakter yang kuat.

Pertemanan yang abadi: tak dapat dipungkiri bahwa teman sejatidimana setiap orangmerasa membutuhkan dan mencarinya merupakan sebuahanugrah yang sangat besar. Teman sejati adalah seseorang yang akan hadir baik disaatsenangmaupun susah, yang mengharapkan hal yang sama untuk temannya sebagaimana yang ia harapkan untuk dirinya, yang menginginkan temannya merasa bahagiaseperti halnya yang ia inginkan untuk dirinya. Dialah orang yang menghindari perasaan-perasaanseperti iri; intoleran; dan permusuhan;yang mencintai orang lain dengan tulus dan selalu menginginkan yang terbaik untuknya.

Pertemanan yang diarahkan pada hari akhirat: prasyarat menjadi teman yang sejati adalah dengan mengarahkan kebahagiaan orang lain di dunia maupun di akhirat. Satu sifat penting dari pertemanan ini adalah berkata dengan jujur dan terbuka, memberitahu kekeliruan keyakinan orang lain, dan dengan penuh kasih sayang menunjukkan cara untuk memperbaikinya. Hanya teman sejati yang benar-benar mencintai orang lainlah yang dapat melakukan ini.

Pertemanan yang didasari rasa cinta dan hormat: di sebuah lingkungan di mana orang hidup dengan moralitas Qur’âni, serta takut dan yakin pada Allah adalah nilai-nilai yang dengannya orang dapat benar-benar merasakan cinta dan hormat terhadap sesama. Cinta, kepercayaan dan kesetiaan yang dirasakan orang mu’min terhadap sesama dibentuk sepenuhnya menurut ikhtiar yang mereka lakukan di jalan Allah. Seorang mu’min yang menggunakan apa yang dimilikinya untuk kebaikan hanya karena ridha Allah dan menjalankannya dengan teguh, maka ia akan mendapatkan cinta saudara-saudara Muslim dan ia telah membuat contoh yang baik bagi saudara-saudaranya. Kesetiaan yang kuat di antara mereka akan meningkatkan cinta, pengabdian, dan kepercayaan yangmereka rasakansatu sama lain. Oleh karena itu, jika pertemanan dan kedekatan itu dibangun diatas ketakutan dan keyakinan orang pada Allah dan berada pada moral yang tepat, maka perubahan fisik–yang disebabkan oleh penyakit atau usiatidak akan mempengaruhinya. Sebaliknya, justru kasih dan sayangyang lebih besarlah yang akan dirasakan orang mu’min.

Pertemanan yang didasari kejujuran: kejujuran yang disertai ketulusan dan keikhlasan bermakna apa yang ada di luar diri seseorang (zhâhir) sama seperti apa yang ada di dalam dirinya (bâthin), sebuah cerminan dari apa yang ia rasakan dan alami di dalam hatinya. Maksudnya adalah berlaku ikhlas, terbuka dan jujur, mengungkapkan karakter seseorang yang sesungguhnya tanpa menyembunyikan pikiran dan perasaan yang sebenarnya, tidak menghitung apa yang telah diperbuat, atau mencoba tampil beda dari apa yang sebelumnya. Menurut nilai moral Al-Qur’ân, seseorang itu bernilai karena upaya untuk meningkatkan kejujurannya, dan teman serta orang-orang tercintanya mencintainya karena mereka tahu bahwa ia ia tulus terhadap mereka.
“Temanmu (penolongmu) hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, seraya tunduk (pada Allah).” (QS. Al-Mâ’idah, (5):55)

Pertemanan yang diganjari kesendirian: hal ini terjadi pada orang-orang karena mereka gagal memetik nilai moral dalam Al-Qur’ân atau pedoman mereka, sehingga–meskipun mereka merindukannya–mereka tidak pernah dapat menemukan teman sejati. Itulah sebabnya seringkali mereka berkata “saya sangat kesepian,” “saya tidak memiliki teman di dunia ini,” atau “mereka telah meninggalkanku sendiri, jadi mereka hanyalah teman sesaat.”

Pertemanan yang berdasarkan pada kedudukan dan martabat: pertemanan yang dibangun di atas nilai-nilai seperti kekayaan, keindahan penampilan, martabat, dan kedudukan atau status sosial tidak akan pernah bertahan lama. Karena kelak terdapat perubahan pada nilai-nilai tersebut, sehingga pertemanan pun berakhir. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki cara pandang demikian, kemudian ia mau berteman dengan seseorang karena ia begitu menarik dan mengesankan, secepatnya akan kehilangan hal tersebut ketika mereka–misalnya–cacat sehingga tak dapat dikenal, miskin, dan tak berdaya karena sebuah musibah.

Pertemanan yang didasari persaingan: orang yang memandang orang lain sebagai pesaing atau musuh, biasanya hanya mengatakan kesalahan-kesalahan orang lain. Karena biasanya mereka tidak ingin orang lain lebih baik dari dirinya, atau bahkan jika melihat ada kekurangan, mereka akan bersikap tidak jujur, tanpa khawatir hal ini akan merusak pertemanan, dan berkata, seperti, “kau orang yang sangat baik,” atau “kami mencintaimu apa adanya.”

Pertemanan yang didasari kepentingan diri sendiri: orang yang hidup mengikuti kepentingan diri sendiri banyak mengalami fluktuasi psikologis selama masa hidupnya. Ia mungkin akan memudarkan keatraktifannya, jiwa mudanya, kesehatannya, dan kekayaannya. Ia melihat bahwa orang-orang yang pernah dibayangkan menjadi temannya ternyata tidak begitu memberikan arti ketika ia mulai lemah dan menua. Mereka, yang semula begitu dekat dan janji saling setia di saat-saat senang, menjadi begitu jauh sehingga tidak ingin lagi saling bicara atau bahkan mengenal satu sama lain. Mereka menganggap tidak ada lagi yang perlu dibagi, yang harus memberi nasihat, yang dapat dijadikan tempat untuk meminta pertolongan atau menaruh kepercayaan. Ia baru menyadari bahwa mereka yang ia anggap sebagai teman terdekat saya, ternyata meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan pertemanan mereka.

Pertemanan yang dikuasai oleh kegelisahan: mustahil bagi orang yang tidak hidup di atas nilai moral (akhlâq) Al-Qur’ân dapat merasakan cinta sejati, hormat atau percaya terhadap sesama–yang di saat bersamaan–merisaukan kekurangan atau kelemahan moral masing-masing. Mustahil dapat benar-benar mencintai dan menghormati seseorang apabila ia mengetahui bahwa mereka itu berbohong dan munafik, memanfaatkan orang lain demi kepentingan mereka sendiri. Seseorang akan sadar bahwa meskipun ia berkata dialah teman terdekat mereka, ia sebenarnya bersikap dengan cara yang sama terhadapnya juga.
“Dan (ingatlah) hari ketika orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “wahai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul! Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’ân setelah al-Qur’ân itu datang padaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.”(QS. Al-Furqan, (25):27-29)

Sumber : Harun Yahya

BAGAIMANA IMAM AL MAHDI (AS) MENERIMA BAHWA IA ADALAH MAHDI?

Kutipan Wawancara Live dari Bpk. Adnan Oktar di Kanal Avrupa dan Cay TV tanggal
10 Oktober 2010

ADNAN OKTAR:Assalamu ‘alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh. "Ustadzku yang terhormat, kami telah mencoba untuk mengikuti semua program TV Anda insya Allah. Abdulrahim Ilan dari Mardin" Dia seorang saudara kita yang sangat mengasihi kita. Dia adalah seorang sufi. Orang yang diberkati, Sheikh dia, adalah orang suci, pribadi yang tercerahkan dan individu yang berharga. Mereka juga memiliki masha'Allah semacam itikad baik pada saya dan mereka memiliki cinta yang besar. Dan kita juga mencintai kedua saudara kita dan juga Sheikh gurunya. Salam untuk semua saudara-saudara kami di Mardin, untuk Urfa, Siirt untuk mereka semua, untuk semua saudara-saudara kami di tenggara.
Saudaraku bertanya lagi tentang sistem Al Mahdi. Apa yang dikatakan? "Anda mengatakan bahwa Imam Mahdi (as) tidak akan menerima bahwa ia adalah Al Mahdi. Dan Rasulullah (saw) mengatakan demikian." Mereka akan membuat dia menerima dengan pemaksaan ". Dalam situasi ini bagaimana orang berjanji setia kepada dia? Saya sangat ingin tahu tentang respon dari pertanyaan ini. "
Mereka akan berkata "Tuan, Anda adalah orang yang sangat berbakat. Artinya, karena semua orang juga menyadari, Anda sudah sangat berpengaruh. Dan kami telah melihat di dalam dunia dan melalui keyakinan tulus kami, kami telah menganggap Anda tepat untuk mengemban tugas ini. Jadilah pemimpin Muslim di dunia. " "Kami telah mengadakan konsultasi dan memutuskan hal ini di antara kami," kata mereka. Itu adalah sistem Al Mahdi. Maksud saya tidak ada yang mengatakan, "Saya telah jelas memutuskan bahwa Anda adalah Imam Mahdi (as), Anda Imam Mahdi (as)." Mereka merasakan hal ini dalam hati mereka dan nurani mereka dan bukan lewat suara tetapi percaya sebagai keyakinan mereka bersama. Imam Mahdi (as) akan menjadi keyakinan umum kaum Muslim pula. Bediuzzaman mengatakan ini dan di atas segalanya Nabi kita (saw) mengatakan demikian. Maksud saya akan akan satu kesepakatan bahwa setiap orang akan secara tulus meyakininya. Orang-orang akan mengatakan bahwa ia akan sangat pantas, bahwa ia akan baik untuk keselamatan, maksud saya akan baik untuk mengangkat dia sebagai pemimpin. Dan orang-orang Muslim akan membawa keyakinan itu juga. Mereka semua akan berkumpul dalam kesatuan di bawah komandonya, begitulah..

Sumber : Harun Yahya