Tampilkan postingan dengan label Akhlak Tasawuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akhlak Tasawuf. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Juni 2011

Ciri-Ciri Insan Kamil




          Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.

          Untuk mengetahui ciri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk di dalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:

1.     Berfungsi Akalnya Secara Optimal

Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu’tajzilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfunsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan hal semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada esensi perbuatan tersebut.

2.     Berfungsi Intuisinya

Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.

3.     Mampu Menciptakan Budaya

Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berfikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh  makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.

Tetapi dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut sekarang ini dikenal dengan revolusi.


4.     Menghiasi Diri Dengan Sifat-Sifat Ketuhanan

Manusai merupakan makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia seabagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak yang bebas.

5.     Berakhlak Mulia

Insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Insan Kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan, dan kelemahan.

6.     Berjiwa Seimbang

Menurut Nashr, bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari merekan lupa akan immortalitas yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketentraman batin, yang berarti tidak hanya keseimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak.

Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syari’at Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbag dan seterusnya.

Sumber : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. “Akhlak Tasawuf”, Jakarta : Rajawali Pers. 2010


Jumat, 27 Mei 2011

Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Kalam, Ilmu Falsafah, Ilmu Fiqih, Dan Ilmu Jiwa



A.    PENGERTIAN TASAWUF

          Kata sufi mulanya muncul pada abad ke-9. Asal usul kata ini dibahas oleh hujwiri pada abad ke-11. Ia mengemukakan nama itu mungkin berasal dari kata shuf (yang berarti wol), karena kaum sufi memakai busana wol. Atau dari ahli suffah, nama yang dilekatkan pada orang-orang yang tinggal diberanda masjid Nabi Muhamad. Atau dari shaft (yang berarti kesucian). Nabi Muhamad menyatakan “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal penciptanya”. Tasawuf adalah jalan kembali kekeadaan azali manusia, jalan yang ditempuh untuk menemukan makna dan tujuan, untuk mencapai ketenangan dan kehidupan abadi, jalan yang ditempuh orang untuk bisa pulang kerumah. Dalam literatur barat, tasawuf sering disebut mistisme Islam. Sebab ia adalah jalan bagi pengalaman pribadi tentang cinta ilahi dan ia mencakup pemahaman ektase yang dikenal dengan mistis. Tasawuf berarti mengalami dan menghayati realitas agama, penemuan dan realitas yang dicanangkan oleh semua Nabi. Semua orang di karuniai potensi untuk menemukan rahasia kehidupan ini. Pengalaman tidak bisa dicapai melalui nalar dan logika, melainkan harus datang dari lubuk hati terdalam. Tasawuf adalah Islam, karena Islam berarti berserah diri kepada Tuhan, dan tujuan Tasawuf adalah berserah diri kepada Tuhan, syarat untuk mencapai penyatuan dengan Tuhan sang kekasih.


B.    HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM

          Ilmu kalam adalah disiplin ilmu keIslaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah. Sebagai contoh, ilmu kalam menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’, Bashar, Kalam, Iradah, Qudrah, Hayat, dan sebagainya. Namun, ilmu kalam tidak menjelaskan bagaimana seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya, bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an, bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari kekuasaan Allah ? 

          Pernyataan-pernyataan diatas sulit terjawab hanya dengan berlandaskan pada ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu Tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana merasakan tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya.

          Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
1.     Sebagai pemberi wawasan  spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.

  1. Berfungsi sebagai pengendali ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
  2. Berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih bebas. Disinilah ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam terkesan sebagai dialektika keIslaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan hati.

Andaikata manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna, kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong dan membanggakan diri. Kalau saja manusia sadar bahwa Allahlah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi). Dalam ilmu Tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu kalam terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.

C.    HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU FALSAFAH

Biasanya Tasawuf dan filsafah selalu dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa pencarian jalan Tasawuf mengharuskan pencelaan filsafat, tidak hanya berupa timbal balik dan saling mempengaruhi, bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif (dzawqi).

Hubungan antara Tasawuf dan filsafat, yaitu : 
  1. Bentuk hubungan yang paling luas antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya al-Ghazali bersaudara, Abu hamid dan Ahmad. Dan penyair sufi besar seperti Sana’I, Athar, dan Rumi. Kelompok sufi ini hanya memperhatikan aspek rasional dari filsafat, dan setiap kali berbicara tentang intelek, mereka tidak mengartikan intelek dalam arti mutlaknya, namun mengacu kepada aspek rasional intelek (akal). Athar juga memahami filsafat hanya sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan menekankan bahwa hal itu tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan pengetahuan ilahiah, yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa dibawah bimbingan spiritual para guru sufi. Intelek tidak sama dengan hadist Nabi dan falsafah tidak sama dengan teosofi (hikmah) dalam makna Qur’aninya. Matsnawi adalah sebuah Masterpiece filsafat.
  2.  Hubungan antara Tasawuf dan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus yang terjalin erat dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak menerima filsafat peripatetic dan mazhab-mazhab filsafat lain yang seperti itu, namun ia sendiri tercampur dengan filsafat atau teosofi (hikmah) dalam bentuknya yang paling luas. Dalam mazhab Tasawuf itu, intelek sebagai alat untuk mencapai realitas tentang yang mutlak dengan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dalam tasawuf berkembang satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya datang untuk menggantikan filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat mempengaruhi jika bukan menggantikan filsafat dan kemudian secara amat efektif  menggabungkan filsafat dan Tasawuf, bahkan mengganti nama Tasawuf menjadi Irfan (gnosis,makrifat) pada periode safawi. Penentangan terhadap filsafat masih tetap tampak, tapi penentangan ini sebenarnya muncul dalam kaitannya dengan istilah falsafah dan rasionalisme. Hubungan Tasawuf dan filsafah berbeda dari apa yang diamati dalam tasawuf yang didominasi cinta, seperti pada Athar dan lainnya.
  3. Hubungan antara Tasawuf dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi yang sekaligus juga filosof, Yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan filsafat. Afdhaluddin kasyani, Quthbuddin syirazi, Ibd Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul Qosim findiriski, orang-orang ini seluruhnya adalah sufi yang berjalan pada jalan spiritual dan telah mencapai maqam spiritual, dan beberapa diantara mereka terdapat para wali, tetapi pada saat yang sama secara mendalam memahami filsafat dan cukup mengherankan, beberapa diantara mereka lebih tertarik pada  filsafat peripatetic dan rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana dapat diamati dalam kasus Mir Findiriski yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu Sina. Diantara kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang kedudukan yang unik. Ia tidak hanya salah satu sufi terbesar yang hingga hari ini mouseleumnya di Maqam Kasyani menjadi tempat Ziarah, baik orang-orang yang awam maupun orang-orang terpelajar, tetapi ia juga dianggap sebagai salah satu filosof Persia terbesar yang sumbangannya bagi pengembangan bahasa filsafat Persia tak tertandingi. Karya-karya filsafatnya dalam logika, teologi, ataupun dalam ilmu-ilmu alam ditulis dalam bahasa Persia yang jelas dan fasih, dan merupakan Masterpiece dalam bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan dengan jelas wawasan tasawuf dalam syair-syairnya, namun dalam hal logika dan filsafat yang paling ketat sekalipun. Figur besar lain seperti Quthbuddin al-Syirazi, yang dalam masa remajanya bergabung dengan para sufi dan juga menulis karya besar dalam filsafat peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin Turkah Isfahani, yang Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus Tasawuf, dan Mir Abul Qosim Findiriski, yang menjadi komentator karya metafisika Hindu penting, Yoga Vaisithsa adalah sufi dan ahli makrifat   yang kepadanya banyak mukjizat dinisbatkan. Mereka semua sesungguhnya adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani, sejauh menyangkut upaya pemantapan hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
  4. Kategorisasi umum kita mengenai hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup para filosof yang mempelajari atau mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari kelompok ini adalah Al-Farabi, yang mempraktekan Tasawuf dan bahkan telah mengubah musik yang dimainkan dalam pertemuan Sama’ pada sufi, mutiara hikmah yang dinisbatkan kepadanya sangatlah penting. Karena, pada dasarnya, inilah buku mengenai filsafat maupun makrifat dan hingga kini diajarkan di Persia bersama komentar-komentar makrifati.
D.                HUBUNGAN  TASAWUF DENGAN ILMU FIQIH

          Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian persoalan-persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang thaharah atau yang lainnya secara tidak langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqih dalam persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini berhasil memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.

          Dahulu para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Dan Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara ke-2 nya, berarti disitu terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqih, atau seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi harus bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu Fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling melengkapi.

E.                 HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU JIWA

          Dalam pembahasan Tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam Tasawuf tersebut adalah terciptanya keserasian antara ke-2 nya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dkategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang  ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak jalek. Dalalm pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku insani pula. Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa kebahagiaan dirinya dan orang lain. Disamping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas, terhindar dari kegelisahan-kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.

Minggu, 01 Mei 2011

Akhlak Tasawuf : Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam



            Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah swt., al-qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Masalaj akhlak dalam ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar.
            Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-qur’an da nal-hadis.jika kita perhatikan al-qur’an atau hadis dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik dan ada pula yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, azizah dan al-birr.
            Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-raghib al- Asfahani adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah terbagi menjadi 3 bagian, pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa nafsu/keinginan dan hasanah dari segi pancaindera. Pemakaian kata al-hasanah kta jumpai pada ayat-ayat yang berbunyi :
“ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (Q.S al-Nahl, 16: 125)”.
            Adapun kata at-tayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada pancaindera dan jiwa seperti makan dan sebagainya. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi :
“Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang kami berikan kepadamu. (Q.S. al-baqarah, 2:57)”.
            Selanjutnya kata al-khair digunakan utnuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi “
“Barangsiapa yang melakukan kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-baqarah, 2: 158)”.
             Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah swt., dengan demikian kata al-mahmudah lebih menujukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual. Misalnya dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :
“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji (Q.S al-Isra, 17: 79)”.
            Selanjtnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang sekalanya besar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua dan sebagainya.
“Dan janganlah kamu mengucapkan kata “uf-cis” kepada kedua orang tua, dan janganlah membentaknya, dan ucapkanlah pada keduanya ucapan yang mulia (Q.S. al-ISra, 17: 23)”.
            Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Terkadang digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia maka yang dimaksud adalah ketaatannya.
            Adanya berbagai istilah kebaikan yang demikian variatif yang diberikan al-qur’an dan hadis itu menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam jauh lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan arti kebaikan yang dikemukakan sebelumnya. Berbagai istilah yang mengacu pada kebaikan itu menunjukkan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan akhirat serta akhlak yang mulia.
            Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian, Islam memberikan tolok ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapatkan  keridlaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas.
            Selanjutnya dalam menentukan perbuatan yang baik dan buruk itu, Islam memperhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan itu. Seseeorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang salah, maka perbuatan itu dipandang tercela.
            Selain itu perbuatan yang dianggap baik oleh Islam juga adalah perbuatan yang sesuia dengan petunjuk al-qur’an dan al-sunnah, dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan al-qur’an dan al-sunnah. Namun demikian, al-qur’an dan al-sunnah bukanlah sumber ajaran yang eksklusif atau tertutup. Kedua cumber itu bersikap terbuka untuk menghargai bahkan menampung pendapat akal pikiran, adat istiadat dan sebagainya yang dibuat manusia, dengan catatan semuanya itu tetap sejalan dengan petunjuk al-qur’an dan al-sunnah. Ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada logika dan filsafat dengan berbagai alirannya tertampung dalam istilah etika, atau ketentuan baik-birik yang didasarkan atas istilah adat istiadat tetap diakui dan dihargai keberadaannya. Ketentuan baik-buruk yang terdapat pada etika dan moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk yang ada didalam al-qur’an.

Sumber : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. “Akhlak Tasawuf”, Jakarta : Rajawali Pers. 2010