Tampilkan postingan dengan label Ilmu Kalam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Kalam. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 September 2011

Syi’ah: Pengertian dan Asal-usul Kemunculannya



Syi’ah dilihat dari segi bahasa berarti pengikut, pendukung, partai atau kelompok, sedangkansecara terminology adalah sebagian kaummuslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunanNabi Muhammad SAW atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait. Poin pentingdalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itubersumber dari ahl al-bait. Merekamenolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.

Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut Ali,pemimpin pertama ahl al-bait padamasa nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu di antaranyaadalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.

Pengertian bahasa dan terminologis di atas hanyamerupakan dasar yang membedakan Syi’ah dengan kelompok Islam lainnya. Didalamnya belum ada penjelasan yang memadai mengenai Syi’ah berikut doktrin-doktrinnya.Meskipun demikian, pengertian di atas merupakan titik tolak penting bagimadzhab Syi’ah dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya yangmeliputi segala aspek kehidupn, seperti imamah,taqiyah, mut’ah dan sebagainya.

Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapatperbedaan pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhirpemerintahan Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masapemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benar-benarmuncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenaldengan Perang Siffin. Dalampeperangan ini, sebagai respon atas permintaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Muawiyah,pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikapAli—kelak disebut Syi’ah—dan kelompoklain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.

Kalangan Syi’ah sendiri berbeda pendapat bahwakemuncukan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khalifah) Nabi SAW. Mereka menola kekhalifahan Abu Bakar, Umar binKhattab dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin AbiThaliblah yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandanganSyi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi SAWpada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Muhammad SAW diperinthakanmenyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Alibin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan orang yangpertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selainitu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali menrupakan orang yang menunjukkan perjuangandan pengabdian yang luar biasa besar.

Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenaikalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh padafakta sejarah “perpecahan” dalam Islam yang memang mulai mencolok pada masapemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh mementumnya yang paling kuat padamasa pemerintahan Ali bin Abi Thalib tepatnya setelah Perang Siffin, berdasarkan hadis-hadis yang mereka terima dari ahl al-bait, berpendapat bahwaperpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW wafat dan kekhalifahannya jatuh ketangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Al-Khulafa Al-rasyidun sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada. Merekabergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrinSyi’ah kepada masyarakat. Tampaknya, Syi’ahsebagai salah satu faksi politik Islam yang bergerak secaraterang-terangan, memang baru muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib,sedangkan Syi’ah sebagi doktrin yang diajarkan secara diam-diam oleh ahl al-bait muncul segera setelahwafatnya Nabi.

Dalam perkembangannya, selain memperjuangkan hak kekhalifahanahl al-bait di hadapan Dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah, Syi’ah juga mengembangkandoktrin-doktrinnya sendiri. Berkaitan dengan teologi, mereka mempunyai limarukun iman, yakni tauhid (kepercayaankepada keesaan Allah); nibuwwah (kepercayaankepada kenabian); ma’ad (kepercayaanakan adanya hidup di akhirat); imamah (kepercayaanterhadap adanya imamah yang merupakan hak ahlal-bait); dan adl (keadilahIlahi). Dalam Ensiklopedia IslamIndonesia ditulis bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah terletakpada doktrin imamah. Meskipunmempunyai landasa keimanan yang sama, Syi’ahtidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompokini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicuoleh masalah doktrin imamah. Diantarasekte-sekte Syi’ah itu adalah Itsna Asyi’ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah, danGhullat.

Sumber : Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan Dr. Rosihon,M.Ag, “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Bandung : 2001.



Jumat, 19 Agustus 2011

Murji’ah: Asal-usul Kemunculan dan Doktrin-doktrinnya










1. Asal-usul
Kemunculan Murjia’ah








Nama Murji’ah diambil dari
kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata
arja’a mengandung pula arti member harapan, yakni member harapan kepada pelaku
dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu arja’a
berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang yang
mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang
yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari
kiamat kelak.





Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculannya.
Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja
atau arja’a dikembangkan oleh
sebagian sahabat dengan tujuan mejamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika
terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianimse. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik
maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah dan
Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.





Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja
atau arja’a yang merupakan basis
kemunculan doktrin Murji’ah muncul
pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi
Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Al-Hasan mencoba
menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan
kelompok syiah revolusioner yang
terlampau mengagumkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari
Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah engan alas an bahwa ia
adalah keturunan si pendosa Usman.





Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan
Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash,
seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro
dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali,
yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim
bertentangan dengan al-qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim
berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya
dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lainnya, seperti zina.
Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat
dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada
Allah, apakah Dia akan mengampuninya atau tidak.


  


2.   Doktrin-doktrin
Murji’ah





Ajaran pokok Murji’ah pada
dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang
diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di
bidang politik, doktrin irja diimplementasikan
dengan sikap netral atau nonblok, yang hamper selalu diekspresikan dengan sikap
diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal
pula sebagai the queietists (kelompok
bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan
politik.





Adapun dibidang teologi, doktrin irja
dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang
muncul pada saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang
ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa
besar, dan ringan, tauhid, tafsir, eslato;ogi, pengampunan atas dosa besar,
kemaksuman nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir dikalangan generasi awal
Islam, tobat, hakikat al-qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan.





Berkaitan dengan teologi Murji’ah,
W. Montgomery Watt merinci sebagai berikut:


a.  
Penangguhan
keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat
kelak.


b.  
Penangguhan
Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.


c.   
Pemberian
harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.


d.  
Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran para
skeptic dan empiris dari kalangan Helenis.





Masih berkaitan dengan doktrin Murji’ah,
Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:


a.  
Menunda hukuman
atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah
di hari kiamat kelak.


b.  
Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.


c.   
Meletakkan
(pentingnya) iman daripada amal.


d.  
Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.





Sementara itu, Abu ‘A’ la Al-Madudi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran
Murji’ah, yaitu:


a.   Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun
alam atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan
hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang
difardukan dan melakukan dosa besar.


b.   Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada
iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atau gangguan
atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan
menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.





Sumber : Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan Dr. Rosihon,
M.Ag, “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Bandung : 2001.












Senin, 06 Juni 2011

Perbandingan Antaraliran : Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan



Pangkal persoalan kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencpta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendakdan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi yang lain yang melampaui dan mengatasi eksistensi-Nya. Ia difahami sebagai eksistensi yang esa dan unik. Inilah makna umum yang dianut oleh aliran-aliran kalam dalam memahami tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

Aliran Mu’tazilah

Aliran ini berprinsip tentang keadilan Tuhan bahwa keadilan Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikitpun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.

Secara lebih jelas, aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunnatullah) yang menurut al-qur’an tidak pernah berubah.

Oleh sebab itu, dalam padangan Mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta itulah sebabnya Mu’tazilah mempergunakan ayat 62 surat Al-Ahzab [33] yang berbunyi :

(62). Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang Telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.

Kebebasan manusia, yang memang diberikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Demikian pula keadilan Tuhan, membuat Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau zalim. Dengan demikian, dalam pemahaman Mu’tazilah Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasann-Nya secara mutlak, tetapi sudah terbatas.

Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sbd Al-Jabbar, bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik. Jalan pikiran ini tidak menghendaki sifat zalim dalam menghukum, memberi beban yang tidak patuh bagi Allah. Dengan kata lain, Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri bagi diri-Nya.

Apabila kita perhatikan uraian di atas, jelas sekali bahwa keadilan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya keharusan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan kepada manusia. Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.

Aliran Asy’ariyah

Kaum Asy’ariyah, karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujan yang lain. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa sekehendak hati-nya, dan itu semua adalah adil bagi Tuhan. Justru tidaklah adil bagi Tuhan jika tidk dapat berbuat sekehendak-Nya karena Dia adalah penguasa mutlak. Sekiranya Tuhan menghendaki makhluk-makhluk-Nya masuk ke dalam surga ataupun neraka, itu adalah adil karena Tuhan berbuat dan membuat hukum menurut kehendak-Nya.

Karena menekankan kekuasaan dan kehendak multak Tuhan, aliran Asy’ariyah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya. Dengan demikian, ketidakadilan difahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil, bila yang difahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.

Dariuraian di atas dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.

Aliran Maturidiyah

Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan.

Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarkand dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.

Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu dzat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya. Tampaknya, aliran Maturidiyah Samarkand lebih dekat dengan Asy’ariyah.

Lebih jauh lagi, Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidakadilan Tuhan haruslah difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas, Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti, bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.

Sumber : Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan Dr. Rosihon, M.Ag, “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Bandung : 2001.







Minggu, 05 Juni 2011

Perbandingan Sifat-Sifat Tuhan Menurut Aliran Mu’tazilah dan Aliran Asy’ariyah




Aliran Mu’tazilah

Perbandingan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat tuhan. Jika sifat-sifat itu tidak kekal, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada faham banyak yang kekal. Ini selanjutnya membawa pula kepada faham syirik atau politheisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi. Lebih jauh lagi, Washil bin Atha menegaskan bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah, maka ia telah menetapkan adanya dua Tuhan.

Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka menurut kaum Asy’ariyah ialah bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berjuasa dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”.

An-Nazhzham mengatakan bahwa jika ditetapkan Allah itu adalah dzat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya (bukan sifat-Nya). Dinafikan pula dari-Nya kebodohan, kelemahan kematian, tuli, dan buta. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lain.

An-Nazhzham berpendapat, “perkataanku yang menyebutkan bahwa Allah “bersifat” tahu, berkuasa, mendengar, dan melihat merupakan penamaan Allah yang bersifat positif danmeniadakan lawannya.´ketika ditanya, “apakah Anda mengetahui bahwa Allah memiliki pengetahuan?” Ia menjawab, “Aku mengatakanya karena keluasan bahasa saja dan mengembalikannya kepada penegasan bahwa Ia adalah dzat “Yang” Mahatahu. Demikian juga perkataanku yang mengatakan bahwa Allah memiliki kekuasaan.” Ia tidak mengatakan bahwa Allah memiliki erkehdiupan, atau pendengaaran, atau penglihatan karena yang disebut Allah di dalam al-qur’an berkenaan dengan diri-Nya hanyalah pengetahuan dan kekuatan, sedangkan perkehidupan, pendengaran, dan penglihatan tidak pernah disebut-sebut.

Selanjutnya, Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena Tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat, kemudian bila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala itu berarti Tuhan dapat dilihat sekarang didunia ini, sedangkan kenyataannya tidak seorangpun yang dapat melihat Tuhan di alam ini.

(103).  Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.

Mengenai hakikat al-qur’an, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa al-qur’an adalah makhluk sehingga tidak kekal. Mereka beragumen bahwa al-qur’an itu sendiri tersusun dari kata-kata dan kata-kata itu sendiri tersusun dari huruf-huruf.
 
(2).  Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main.

Aliran Asy’ariyah

Aliran ini mengatakan dengan tegas bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Asy’ariyah, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Ia jiga menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya disamping mengetahui pengetahuan, kemauan dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan bahwa sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik karenanya tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi—sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah)—tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya.

Kemudian Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.  Karena sifat-sifat tidak lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat itu membawa kepada paham banyak kekal.

Kelihatannya faham kekuasan dari kehendak mutlah Tuhanlah yang mendorong kaum Asy’ariyah memilih penyelesaian di atas. “sifat” mengandung arti tetap dan kekal, sedangkan “keadaan” mengandung arti berubah. Sifat mengandung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung arti lemah. Oleh karena itu, perkataan bahwa Tuhan tidak mengandung sifat, tetapi hanya mempunyai keadaan, tidaklah segaris dengan konsep kekuasaan kehendak mutlak Tuhan. Untuk mempertahankan kekuassaan dan kehendak mutlak Tuhan, Tuhan mesti mempunyai sifat-sifat yang kekal.

Asy’ariyah seabagi aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada akal juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia. Namu, ayat-ayat al-qur’an kendatipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiahnya. Oleh sebab itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai mata, mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana. Namun, semua itu dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).

Bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah, aliran Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhir kelak dengan mata kepala. Aliran ini menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat  adalah sesuatu yang mempunyai wujud. Kaena Tuhan mempunyai wujud, Ia dapat dilihat.dia melihat diri-Nya juga. Bila Tuhan melihat diri-Nya, tentulah Ia sendiri dapat membuat manusia mempunyai kemampuan melihat diri-Nya sendiri.

(22).  Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
(23).  Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.

Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa al-qur’an itu adalah kekal tidak diciptakan. Aliran ini berpegang teguh bahwa al-qur’an itu bukan makhluk sebab segala sesuatu tercipta, setelah Allah berfirman kun (jadilah), maka segala sesuatu pun terjadi.penjelsan ini mengisyaratkan bahwa al-qur’an dalam faham mereka bukanlah yang tersusun dari huruf dan suara, tetapi yang terdapat di balik yang tersusun daru suara itu.

25.  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).

Sumber : Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan Dr. Rosihon, M.Ag, “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Bandung : 2001.



Sabtu, 04 Juni 2011

Perbandingan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah




1.     Aliran Mu’tazilah

Aliran mu’tazilah sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terdapat pada hal-hal yan dikatakan baik. Namu, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-qur’an pun dijelaskan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al-qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah unuk mendukung pendapatnya adalah surat Al-Anbiya [21]:23, dan surat Ar-Rum [30]:8.

Qadi Abd Al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari perbuatan yang buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu?. Adapun ayat yang kedua menurut Al-Jabar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikan Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupkan berita bohong.

Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasanan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia. Faham kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-aslah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memuculkan kewajiban Allah sebagai berikut :

a.     Kewajiban Tidak Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia

Memberi beban di luar kemampuan manusia (taklif wa la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilah Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberi beban yang telalu berat kepada manusia.

b.     Kewajiban Mengirimkan Rasul

Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiiman Rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumen merka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui mansuia tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bai manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.

c.     Kewajiban Menepati Janji dan Ancaman

Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengaan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik; dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahah dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.

2.     Aliran Asy’ariyah

Menurut aliran ini, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak  dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

Karena percaya terhadap kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia.

Walaupun pengiriman Rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran Asy’ariyah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Faham ini tidak dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya Tuhan tidak mengutus seorang Rasul kepada umat manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dari perbuatan buruk. Ia akan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Namun, sesuai dengan faham Asy’ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tak lagi menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Tuhan dalam faham ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.

Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang ada dalam al-qur’an dan hadits. Di sini timbul persoalan bagi aliran Asy’ariyah karena dalam al-qur’an dikatakan dengan tegas bahwa siapa yang beruat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata Arab “man, alladzina” dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, diberi interpretasi oleh Asy’ari, “bukan semua orang, tapi sebagian”. Dengan demikian kata siapa dalam ayat “Barangsiapa menalan harta anak yatim piatu dengan cara yang tidak adil, maka ia sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya”. Dengan interpretasi demikianlah, Asy’ariyah mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.

Sumber : Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan Dr. Rosihon, M.Ag, “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Bandung : 2001.