Jumat, 19 Agustus 2011

Murji’ah: Asal-usul Kemunculan dan Doktrin-doktrinnya










1. Asal-usul
Kemunculan Murjia’ah








Nama Murji’ah diambil dari
kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata
arja’a mengandung pula arti member harapan, yakni member harapan kepada pelaku
dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu arja’a
berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang yang
mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang
yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari
kiamat kelak.





Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculannya.
Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja
atau arja’a dikembangkan oleh
sebagian sahabat dengan tujuan mejamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika
terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianimse. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik
maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah dan
Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.





Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja
atau arja’a yang merupakan basis
kemunculan doktrin Murji’ah muncul
pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi
Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Al-Hasan mencoba
menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan
kelompok syiah revolusioner yang
terlampau mengagumkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari
Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah engan alas an bahwa ia
adalah keturunan si pendosa Usman.





Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan
Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash,
seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro
dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali,
yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim
bertentangan dengan al-qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim
berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya
dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lainnya, seperti zina.
Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat
dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada
Allah, apakah Dia akan mengampuninya atau tidak.


  


2.   Doktrin-doktrin
Murji’ah





Ajaran pokok Murji’ah pada
dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang
diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di
bidang politik, doktrin irja diimplementasikan
dengan sikap netral atau nonblok, yang hamper selalu diekspresikan dengan sikap
diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal
pula sebagai the queietists (kelompok
bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan
politik.





Adapun dibidang teologi, doktrin irja
dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang
muncul pada saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang
ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa
besar, dan ringan, tauhid, tafsir, eslato;ogi, pengampunan atas dosa besar,
kemaksuman nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir dikalangan generasi awal
Islam, tobat, hakikat al-qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan.





Berkaitan dengan teologi Murji’ah,
W. Montgomery Watt merinci sebagai berikut:


a.  
Penangguhan
keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat
kelak.


b.  
Penangguhan
Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.


c.   
Pemberian
harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.


d.  
Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran para
skeptic dan empiris dari kalangan Helenis.





Masih berkaitan dengan doktrin Murji’ah,
Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:


a.  
Menunda hukuman
atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah
di hari kiamat kelak.


b.  
Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.


c.   
Meletakkan
(pentingnya) iman daripada amal.


d.  
Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.





Sementara itu, Abu ‘A’ la Al-Madudi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran
Murji’ah, yaitu:


a.   Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun
alam atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan
hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang
difardukan dan melakukan dosa besar.


b.   Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada
iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atau gangguan
atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan
menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.





Sumber : Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan Dr. Rosihon,
M.Ag, “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Bandung : 2001.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar