Minggu, 04 September 2011

Asal Usul Sejarah Gamelan Jegog













Sejarah
seni musik dan tradisi yang terdapat di suatu daerah akan memiliki hubungan
dengan adat istiadat, selera masyarakat, kepercayaan dan letak wilayah
geografinya. Hubungan tersebut mempengaruhi bentuk kesenian, seni musik, dan
alat musik yang dimainkan. Salah satu contohnya adalah gamelan Jegog.





Tempat Asal Gamelan Jegog





Gamelan
Jegog berasal dari daerah Jembrana, yang memiliki keadaan tanah yang tidak
rata. Keadaan alamnya kering, berbeda dengan daerah lainnya di Bali yang berupa
pegunungan landai yang ditunjang oleh pertanian. Di Jembrana banyak tumbuh
pohon bambu dengan ukuran yang besar-besar. Kondisi alam seperti itulah yang
mendorong seniman di sana untuk menciptakan alat musik dari bambu.





Kabupaten
Jembrana terletak di Bali bagian barat. Di utara berbatasan dengan kabupaten
Bulelang, di timur berbatasan dengan kabupaten Tabanan, di selatan berbatasan
dengan samudra Hindia dan di barat dengan Selat Bali. Di Bali terdapat kurang
lebih 28 jenis alat musik atau perangkat gamelan yang memiliki bentuk dan
gending dengan warna suara, fungsi instrumentasi, karakter danrepertaire
gending yang berbeda-beda.





Jembrana
terkenal dengan masyarakatnya yang menyukai perlombaan/ pertandingan, khususnya
kesenian jegog, seperti mabarung (adu kendang), jegog mabarung (adu jegog),
makepung (balapan kerbau), mabente (adu kaki),majengka (adu panco), dan
mapentilan (adu nyentil jari).

Sifat masyarakat yang gemar melakukan pertandingan tersebut terlihat pada
bentuk kesenian/alat musiknya, seperti gamelan Jegog yang dibuat dengan ukuran
yang besar agar tidak kalah tersaingi dengan alat musik lainnya.





Kemunculan Gamelan Jegog





Gamelan
Jegog adalah gamelan yang masih terbilang baru, karena muncul pada awal abad XX
Masehi. I Nyoman Rembang menyatakan bahwa perkembangan gamelan Bali dibedakan
mejadi tiga kelompok, yaitu:





1.      
Kelompok gamelan tua, yaitu
gamelan yang diperkirakan sudah berkembang dari sebelum abad X Masehi.


2.      
Kelompok gamelan madya, yaitu
gamelan yang diperkirakan berkembang sesudah abad X Masehi.


3.      
Kelompok gamelan muda, yaitu
gamelan yang diperkirakan berkembang sejak awal abad XX Masehi.





Gamelan jegog ini merupakan
kelompok gamelan muda atau generasi ke 3





Kisah Awal Kesenian Jegog





Kata
“Jegog” diambil dari instrumen Kesenian Gong Kebyar yang paling besar. Secara
aklamasi masyarakat Jembrana khususnya di kalangan seniman menunjuk bahwa yang
menciptakan gamelan ini adalah I Wayan Geliguh atau Kiyang Geliduh (1872) pada
tahun 1912. Ia adalah seorang seniman yang berasal dari Banjar Sebual, Desa
Dangin Tukad Aya, Kecamatan Negara, Jembrana.





Temuan
Kiang Geliduh itu kemudian dilanjutkan oleh Pan Natil di Desa Delodbrawah pada
1920. Pan Natil kelak dikenal dengan panggilan Kiang Jegog, akibat
kesuntukannya mengalirkan jegog ke generasi berikutnya, hingga meluas ke sejumlah
desa di kawasan Jembrana.





Satu
dasawarsa berselang sejak generasi Kiang Jegog, musik berbahan baku bambu itu
telah menyebar ke Desa Poh Santen dan Mendoyo Kangin. Pada dasawarsa 1940-an
muncul di Desa Tegal Cangkring. “Jegog memang menjadi musik khas Jembrana yang
dipetik dari hamparan huma dan hutan,” katanya.





Seniman
jegog lainnya, I Wayan Wangsun, menjelaskan, gamelan jegog memang tidak
sepopuler gong kebyar (gamelan Bali modern). Pada umumnya masyarakat dan seniman
Bali belum begitu akrab dengan ensambel dari bambu itu. Memang, dari sekian
khasanah gamelan Bali, perangkat alat musik bambu itu tak begitu banyak dicatat
dan dicermati, baik oleh peneliti lokal maupun asing. Tetapi, di desa-desa
belahan barat Bali, kebyar justru kalah gengsi dengan jegog. Gamelan yang
instrumennya berbahan batangan-batangan bambu besar itu begitu digandrungi
masyarakat setempat.





Manakala
petani huma Kiang Geliduh menghalau burung-burung yang menghinggapi bulir-bulir
buah padinya yang mulai menguning, demikian ceritanya, ia membunyikan penghalau
burung. Alat penghalau burung itu dibuat dari bambu, yang memang sudah di dapat
saat itu.





Ketika
suntuk menghalau burung, petani-petani lain di lingkungan Subak Sebual yang
melingkupi huma Kiang Geliduh, pun menyambut serta. Mereka seperti terpaut,
ikut menyahut dengan alat penghalau burung dari bambu pula. Rata-rata kubu
(pondok) para petani di huma saat itu berisi kulkul bambu. Tanpa aba-aba
layaknya dalam kemiliteran, jadilah alat penghalau burung itu satu orkestra
musik nan apik. “Interkoneksi, saling menyahut, mengalir begitu saja dalam
irama rasa terukur,” ia menambahkan.





Di tengah
keasyikan melamun itulah, tutur Wangsun, mekanisme kreativitas seni Kiang
Geliduh terpantik. Rasa hatinya tergetar. Jiwa murninya menari-nari mengikuti
irama suara bambu. Saat rembang petang menjelang. Kiang Geliduh mengumpulkan
sesama petani huma sedesanya. Mereka mereka-reka sungguh-sungguh komposisi
musik bambu itu. Diawali dengan barungan tingklik, perangkat musik bambu lebih
kecil.





Barungan
tingklik itulah kelak berbiak menjadi jegog, setelah disempurnakan,
divariasikan dengan ruas-ruas bambu berbagai ukuran. Dari komposisi ruas-ruas
bambu berbagai ukuran itu kemudian ditemukan barungan musik bambu lebih besar,
utuh. Ingatan para petani seniman itu terpantik pada alat gamelan gong kebyar
paling besar. Perangkat itu dinamakan jegog, karena tongkrongannya majegog,
atau nylegodog besar. Dari sini nama jegog dikenal.





Sebagai
produk budaya asli masyarakat Jembrana, gamelan ini memiliki fungsi yang sangat
beragam. Awalnya Kesenian Jegog hanyalah berupa tabuh (barung tabuh) yang
fungsi awalnya sebagai hiburan para pekerja bergotong royong membuat atap rumah
dari daun pohon rumbia/ijuk, dalam istilah bali bekerja bergotong royong
membuat atap dari daun pohon rumbia disebut “nyucuk”, dalam kegiatan ini
beberapa orang lagi menabuh gamelan jegog. Dalam perkembangan selanjutnya
Gamelan Jegog juga dipakai sebagai pengiring upacara keagamaan, resepsi
pernikahan, jamuan kenegaraan, dan kini sudah dilengkapi dengan drama
tarian-tarian yang mengambil inspirasi alam dan budaya lokal seperti yang
namanya Tabuh Trungtungan, Tabuh Goak Ngolol, Tabuh Macan Putih dengan
tari-tariannya seperti Tari Makepung, Tari Cangak Lemodang, Tari Bambu, sebagai
seni pertunjukan wisata. Kini, jegog juga telah dikolaborasikan dengan
instrumen musik-musik modern seperti biola, keyboard, bas gitar, drum set,
harpa, saxophone dan alat-alat musik non gamelan lainnya seperti djembe, tabla,
dan sitar Jawa. Di Bali, kolaborasi ini dirintis oleh Nyoman Winda dan diberi
nama JES (Jegog dan Semar pegulingan) Gamelan Fusion (JGF). Dan kolaborasi
cantik ini telah ditampilkan di Arda Chandra Art Center 27 Juni 2010 lalu dalam
ajang PKB ke 32.





Penampilan
Gamelan Jegog begitu memikat, para penabuh menari-nari di atas gamelan, suara
Jegog begitu gemuruh, rancak, riuh, bergaung dan sering menggelegar menembus
ruang batas yang bisa didengar dari jarak jauh apalagi dibunyikan pada waktu
malam hari suaranya bisa menjangkau jarak sampai 3 (tiga) Km.








Sumber :
Kaskus








Tidak ada komentar:

Posting Komentar